Tionghoa dalam Sejarah Sepakbola Indonesia
Judul Buku: Tionghoa Surabaya dalam Sepak Bola
Penulis: R.N. Bayu Aji
Tebal: xxi +141 hlm
Penerbit: Ombak, Yogyakarta
Edisi: I, 2010
Penulis: R.N. Bayu Aji
Tebal: xxi +141 hlm
Penerbit: Ombak, Yogyakarta
Edisi: I, 2010
Buku ini punya posisi penting justru karena isu-isu di luar teknis
sepakbola itu sendiri: bagaimana posisi orang-orang Tionghoa dalam peta
kewargaan di Indonesia.
Umum diketahui, orang Tionghoa punya posisi yang kompleks dalam
struktur sosial di Indonesia. Mereka eksis, sudah ada di wilayah
Nusantara berabad-abad lamanya, tapi posisi mereka masih seringkali
dianggap sebagai outsider, orang luar. Mereka punya peran besar
dalam roda ekonomi di Indonesia dengan segala macam stereotipe yang
melekat, tapi di ranah lain mereka tak banyak punya keleluasaan bergerak
— misalnya saja: dalam politik atau militer.
Diskriminasi rasial yang mereka alami memang bukan terjadi hanya
dalam fase pasca-kemerdekaan saja. Akarnya jauh lebih dalam dari itu.
Pemerintah kolonial Belanda sendiri memang merancang segregasi sosial
yang ketat, dengan orang-orang Tionghoa menjadi salah satu target utama
pembatasan ruang gerak itu. Mereka ditempatkan di wilayah tertentu,
dengan dipimpin oleh orang Tionghoa sendiri [pemimpinnya kerap disebut
“Kapiten Cina”] dan harus membawa pass/surat jalan ketika mereka keluar dari enclave-nya sendiri.
Segregasi rasial itu diejawantahkan dalam politik kewargaan kolonial
yang membagi warga negara di Hindia Belanda ke dalam tiga kategori:
orang Eropa, vreemde-oosterlingen [orang-orang Timur Jauh dan
Tionghoa masuk ketagori ini] dan kaum bumiputera. Segregasi sosial itu
tidak hadir secara setara, tapi hierarkis dengan orang-orang Eropa
berada di puncaknya. Sementara kategori vreemde-oosterlingen dan kaum bumiputera berada di bawahnya dan — ini siasatnya– diposisikan saling berhadapan.
Kajian tentang bagaimana peran dan aktivitas orang-orang Tionghoa
dalam olahraga [tidak terkecuali dalam sepakbola] menjadi menarik untuk
dibaca dalam konteks politik kewargaan ini. Terutama dalam fase
Indonesia modern, di mana orang Tionghoa harus menerima banyak
diskriminasi dan pembatasan, olahraga memainkan peran strategis bagi
sebuah isu penting: bagaimana orang Tionghoa berinteraksi dan
memposisikan dirinya dalam kehidupan sosial di Indonesia yang kompleks
dan diskriminatif.
Sepakbola — dan olahraga — jadi salah satu medan interaksi antara
orang-orang Tionghoa dengan ke-Indonesia-an. Di medan inilah orang-orang
Tionghoa punya peran yang tak bisa dan tak mungkin dilupakan.
Tak terhitung nama-nama besar pemain sepakbola Tionghoa yang pernah
membela panji Indonesia. Dari mulai Mo Heng yang memperkuat timnas
Hindia Belanda di Piala Dunia 1938 sampai nama-nama kontemporer seperti
Nova Arianto dan Kim Kurniawan. Sayang, kontribusi dan keterlibatan
pemain-pemain Tionghoa dalam sepakbola Indonesia belakangan tidak
semeriah seperti di dekade 1950-an sampai 1980-an.
Karena itulah, dengan caranya sendiri, buku ini mengajukan pertanyaan yang sudah jarang diajukan: ke mana mereka?
Buku yang ditulis guna menyelesaikan tugas akhir S-1 di Departemen Sejarah Universitas Airlangga ini melengkapi salah satu puzzle
dalam sejarah sepakbola Indonesia. Harus diakui, biar bagaimana pun
sejarah sepakbola Indonesia memang mustahil dikisahkan tanpa mengungkap
peranan orang-orang Tionghoa ini. Orang-orang Tionghoa ini bukan hanya
banyak menyumbang pemain, tapi memang pernah menjadi kekuatan penting
dalam politik sepakbola di Hindia Belanda.
Salah satu bagian menarik dari buku ini ada di bab IV yang berjudul
““Perjalanan Perkumpulan Sepakbola Tionghoa Surabaya”. Di bab itu, RN
Bayu Aji dengan baik memotret Tionghoa sebagai salah satu kutub penting
sepakbola saat itu. Saat itu bukan hanya terjadi “dualisme” federasi dan
kompetisi, tapi bahkan ada tiga berkat orang-orang Tionghoa ini.
Jika orang-orang Belanda punya Nederlandsch Indische Veotbal Bond [NIVB] dan orang-orang bumiputera punya Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia [PSSI], maka orang Tionghoa juga punya Hwa Nan Voetbal Bond [HNVB]. Masing-masing “federasi” itu punya klub-klub anggotanya sendiri dan menjalankan kompetisinya masing-masing.
Dan HNVB adalah salah satu kutub penting dengan klub dan pemain-pemain berkualitas. Di Batavia ada UMS [Unions Makes Strength], di Bandung ada YMC [Young Men’s Combination], di Semarang ada Union Semarang dan di Surabaya ada POR Gymnastiek Sport Vereniging Tionghoa
[selanjutnya ditulis POR] yang didirikan pada 1908. POR ini memiliki
pengurus cabang olahraga yang berbeda-beda, sementara cabang sepakbola
di POR didirikan Oei Kwie Liem pada 1915.
Mereka juga punya steden wedstrijden atau kompetisinya sendiri
yang sudah dimulai sejak 1917. Awalnya, kompetisi mereka berjalan
monoton karena hanya diikuti bond-bond sepakbola Tionghoa dari kosa-kota
besar saja. Puncaknya, pada 1927, Comite Kampioen Wedstrijden Tiong Hoa [CKTH]. Dari situlah akhirnya munculnya NHVB sebagai organisasi yang menaungi semua bond sepakbola Tionghoa di Hindia Belanda.
Lihatlah, bagaimana sejarah “dualisme” dalam sepakbola Indonesia
sebenarnya bukan hanya terjadi sekarang-sekarang saja, tapi memang sudah
ada presedennya di masa lalu. Tentu tidak sama persis, tapi menyadari
ada persinggungan paralelisme dulu dan sekarang bisa mempertajam
pengertian kita tentang aspek politis dalam sepakbola Indonesia.
Dengan menelusuri bagaimana orang-orang Tionghoa di Surabaya bermain
bola, RN Bayu Aji lantas mencoba melacak persinggungan sepakbola
Tionghoa dengan aspek-aspek sosial politis. Diuraikan bagaimana bond-bond Tionghoa ini membuat pertandingan amal untuk mengumpulkan donasi bagi korban kelaparan di China sana.
Bagian paling menarik dari buku ini adalah ketika menyinggung konflik
antara pers Melayu Tionghoa yang beraliran nasionalis dengan organisasi
sepakbola Belanda atau NIVB. Konflik itu dipicu oleh pernyataan
rasialis Bekker, seorang pengurus NIVB sekaligus seorang wartawan
mingguan d’Orient [lihatlah bagaimana wartawan jadi pengurus bola bukanlah barang baru di negeri ini]. Bekker mengirim press-release
mengenai kompetisi NIVB pada bulan Mei 1932 di Surabaya yang melarang
wartawan kulit berwarna [termasuk Tionghoa] datang meliput.
Liem Koen Hian, hoofdredacteur/pemimpin redaksi surat kabar Sin Tit Po,
marah dan menyatakan memboikot pemberitaan atas semua kabar dari
kompetisi NIVB. Koran itu bukan hanya memboikot dalam peliputan, tapi
juga menyerukan agar orang-orang Tionghoa juga memboikot dengan tidak
menonton pertandingan NIVB. Seruan itu cukup berhasil didengar publik.
Aparat keamanan Belanda secara khusus menurunkan jumlah personel cukup
banyak guna menjaga agar tidak terjadi kerusuhan. Bond Tionghoa
Surabaya juga dituntut oleh pers agar mengundurkan diri dari kompetisi
distrik Surabaya yang diorganisir oleh NIVB. Tapi bond sepakbola Tionghoa Surabaya bergeming dan tetap ikut demi menjaga hubungan baik dengan NIVB.
Studi seperti ini bisa memperkaya khasanah pengetahuan kita tentang
bagaimana posisi dan peranan orang Tionghoa dalam politik kewargaan di
Hindia Belanda dan Indonesia. Studi yang serupa dengan kasus-kasus di
kota lain atau di periode yang berbeda [misal sepakbola dan orang-orang
Tionghoa di era Soekarno] akan mepertajam pemahaman kita mengenai topik
ini.
Studi-studi lanjutan dengan topik ini mungkin akan bisa menjawab
sebuah pertanyaan yang belum sempat dijawab oleh buku ini: ke mana
sekarang pemain-pemain sepakbola Tionghoa? Dan apa kira-kira yang
menyebabkan pemain-pemain berdarah Tionghoa itu belakangan tidak
sebanyak dulu?
0 komentar:
Posting Komentar