Sejarah Sepakbola Indonesia 1
Genesis sepakbola di dunia ketiga dapat dibaca sebagai sebuah sub-bab dari narasi besar sejarah kolonialisme.
Sepakbola modern memang “dilahirkan” di Inggris dan Inggris pula yang
bertanggungjawab menyebarluaskan permainan ini. Inggris dengan mudah
menyebarkan permainan ini, termasuk ke dunia ketiga, karena status
mereka sebagai negara kolonial terbesar di dunia. Mula-mula ke
“tetangga-tetangga” terdekatnya, seperti Skotlandia, Wales dan Irlandia,
lalu ke negara-negara Eropa lainnya (seperti Jerman dan Prancis), dan
perlahan tapi pasti sampai ke benua-benua yang jauh seperti Afrika,
Amerika Latin dan Asia – tidak terkecuali Indonesia.
Kendati demikian, kisah mengenai sejarah sepakbola di Indonesia sudah
selayaknya tidak melupakan bentuk kuno sepakbola yang memang sudah
dikenal ratusan tahun sebelumnya: sepakraga.
Robert Crego, dalam buku Sports and Games of the 18th and 19th Centuries [hal
29-31], mensinyalir sepakraga sudah dimainkan di banyak wilayah di Asia
Tenggara pada akhir abad 11, termasuk di wilayah Melayu. Marco Polo,
tulis Crego, mengklaim membawa permainan ini dari China saat mengunjungi
wilayah Asia Tenggara. Saat itu, sampai akhirnya pada awal abad 20
diperkenalkan net yang memisahkan dua area untuk masing-masing regu/tim,
sepakraga dimainkan oleh sekelompok orang dalam posisi melingkar, satu
sama lain menyepak sebuah benda [semacam bola] di udara.
Dalam kebudayaan Melayu permainan ini disebut “sepak raga”, di pulau
Luzon, Filipina, disebut “sipa”, di Birma disebut “chinfhon”. Sementara
sebutan dalam bahasa Thai untuk permainan ini, “takraw”, sekarang bahkan
menjadi nama resmi jenis permainan ini. “Takraw” sendiri dalam bahasa
Thai kira-kira artinya “bola anyaman”. Sementara dalam khasanah Melayu,
padanan untuk “takraw” sebagai objek yang ditendang dan disepak disebut
“raga”.
Di buku klasik Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I: Tanah di Bawah Angin karya
Anthony Reid, khususnya pada bab “Pesta Keramaian dan Dunia Hiburan”,
diuraikan permainan ini dimainkan di Birma, Thailand, Vietnam bagian
selatan, Filipina, juga di wilayah Indonesia. Permainan ini di
wilayah-wilayah itu dimainkan dengan hampir mirip: beberapa orang
membentuk formasi melingkar, lalu memainkan bola satu sama lain agar
bolanya tetap melayang di udara dengan cara menyepaknya dengan kaki,
lutut atau paha. Bolanya terbuat dari rotan laut yang mirip keranjang
kecil nan bulat.
Riwayat ini agak berbeda dengan yang terjadi di Eropa, misalnya
Inggris. Bentuk purba sepakbola di sana umumnya sudah memainkan benda
[kadang anyaman jerami, kadang kulit, kadang buah-buahan dan kabarnya
juga tengkorak kepala] di tanah, bukan memainkannya di udara layaknya
sepak raga.
Kitab berjudul Sejarah Melayu yang selesai ditulis pada 1612
sudah melaporkan keberadaan permainan ini pada masa pemerintahan Sultan
Alauddin pada abad 13 [1477-1488]. Kitab itu menuliskan pujian bagi
seorang bangsawan Maluku yang mempertontonkan kebolehannya bermain sepak
raga saat mengunjungi Malaka. Berikut kutipan kitab Sejarah Melayu:
Ada pun akan Raja Maluku itu terlalu tabu bermain sepak raga.
Maka segala anak tuan-tuan bermainlah dengan… Raja Maluku. Satelah raga
datang kepadanya, maka disepaknya sa-rutus.. dua rutus (kali) maka
barulah diberikannya kapada orang lain: maka pada barang siapa hendak
diberikannya raga, maka ditunjukkannya tiada salah lagi. Satelah itu
maka ia pun dudok di atas kursi merentikkan lelah-nya.
Untuk saya, kutipan yang sudah berusia 400 tahun silam di atas itu
secara menakjubkan sudah mencuatkan suatu paralelisme sejarah dengan
masa kini: bahkan leluhur sepakbola di Nusantara pun sudah digelar di
istana, di jantung kekuasaan dan politik. Terbaca dari kutipan di atas
bagaimana seorang penguasa menggunakan sepakraga untuk memamerkan
kebesarannya.
Meskipun setiap orang yang ikut bermain sama-sama berusaha mempertontonkan kemahirannya, masih menurut Anthony Reid, toh
di masa itu sepak raga tidak untuk dipertandingkan. Sepak raga
dimaksudkan untuk memajukan ketangkasan dan untuk melatih tubuh,
mengembalikan kelenturan punggung serta tulang tungkai yang pegal karena
duduk, membaca, menulis atau bahkan bermain [sejenis] catur.
Sementara Robert Crego menyebut sepak raga saat itu kadang sudah
dipertandingkan, biasanya antara satu desa melawan tetangga desanya yang
lain. Dengan merujuk bagaimana orang Filipina bermain sepak raga pada
masa pendudukan Spanyol, pertandingan berlangsung dengan menghitung
jumlah sepakan yang berhasil dilakukan. Sepak raga menjadi bagian tak
terpisahkan kebudayaan populer di banyak kebudayaan di Asia Tenggara
saat itu. Menjadi pemandangan jamak jika upacara perayaan rakyat
menampilkan permainan sepak takraw, dari mulai acara perkawinan,
syukuran panen dan pesta di desa-desa.
Telaah Anthony Reid mengenai sepak raga ia tempatkan dalam konteks
kegandrungan masyarakat Asia Tenggara akan hiburan, pesta, keramaian dan
upacara-upacara massal. Menurut Reid, kegandrungan masyarakat di Asia
Tenggara akan permainan salah satunya dimungkinkan karena iklim yang
bersahabat dan makanan yang cenderung lebih mudah didapatkan dibanding
di belahan dunia lainnya. Mereka boleh jadi memiliki waktu senggang yang
lebih banyak untuk dimanfaatkan dengan penghiburan, saling bernyanyi,
bermain dan menggelar pesta-pesta.
Permainan perang-perangan di atas kuda [sebagaimana polo di Eropa dan
masih diselenggarakan sampai sekarang di Pulau Sumba dalam ritus yang
dikenal dengan nama pasolla], berburu binatang, lomba dan arak-arakan perahu di sungai, mengadu harimau dengan gajah atau kerbau, rampogan
[melepaskan seekor hariumau di tengah prajurit-prajurit yang
mengepungnya dengan tombak] adalah sebagian permainan masyarakat Asia
Tenggara yang diinisiasi oleh para bangsawan dan kerajaan. Di luar itu,
masyarakat bawah juga punya permainannya sendiri. Berjudi sabung ayam
atau dadu atau kartu, permainan menjatuhkan deretan buah-buahan dengan
sebiji buah lainnya [mirip bowling] sampai sepak raga menjadi contoh
jenis-jenis permainan yang bisa dimainkan oleh rakyat jelata.
Akar tunjang sepak raga yang menancap cukup dalam di masyarakat Asia
Tenggara [tak terkecuali di Nusantara] inilah kiranya yang menyebabkan
nama sepak raga juga yang pertama kali digunakan untuk kata “voetbal”
atau “sepakbola”. Saat Ir. Soeratin mendirikan PSSI pada 1930, nama
sepak raga yang pertama kali digunakan, bukan sepakbola.
Ya, awalnya PSSI adalah singkatan dari “Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia”.
0 komentar:
Posting Komentar