Genealogi Winger 2
Pertemuan antara Inggris dan Hongaria,
pertandingan bersejarah yang dikatakan sebagai pertandingan terbaik abad
ini, jadi titik awal evolusi sepakbola Inggris. Inggris dengan pakem
W-M-nya yang telah mengakar selama lebih dari 25 tahun bertemu dengan
Hongaria yang fasih bermain passing dengan pola 4-2-4-nya. Dalam dua
kali pertemuan dengan tim yang dilatih Bela Guttmann ini, Inggris
terpaksa menelan pil pahit berupa kekalahan 3-6 dan 1-7. Supremasi
Inggris sebagai negara penemu sepak bola (secara institusional) pun
dipertanyakan.
Pertandingan ini mengubah pandangan banyak orang di Inggris tentang
permainan sepakbola. Salah satunya adalah Alf Ramsey. Pada pertandingan
pertama di Wembley sendiri, Ramsey bermain sebagai bek kanan. Dari sisi
lapangan yang ia jaga inilah banyak gol Hungaria tercipta. Ramsey tak
bisa mengikuti Zoltan Czibor dan Ferenc Puskas yang bergerak terlalu
cepat untuk ia kejar. Peristiwa ini kemudian menjadi salah satu pemicu
lahirnya era sepakbola selanjutnya di Inggris, yaitu saat menghilangnya
pemain sayap.
The Wingless Wonders
Fakta menghilangnya pemain sayap di era 1960-an seringkali dialamatkan pada Sir
Alf Ramsey, pelatih yang membawa Inggris juara dunia pada 1966.
Bagaimana tidak. Kala itu, ia memberikan satu-satunya gelar juara dunia
pada Inggris dengan keterlibatan minim dari pemain sayap. Entah saat ia
menggunakan formasi 4-3-3 atau 4-4-2, biasanya hanya satu pemain sayap
yang Ramsey gunakan.
Ide di balik formasi yang digunakan Ramsey sendiri datang dari Brazil
yang memperkuat lini tengahnya dengan menggunakan pemain sayap tipe
bertahan dalam sosok Mario Zagallo. Dengan menggunakan formasi 4-3-3 ini
(modifikasi dari 4-2-4 dengan cara menarik salah satu pemain sayap
bermain lebih ke dalam), Brazil berhasil memenangi Piala Dunia 1958 dan
1962.
Selain itu, Ramsey juga berkaca pada pengalaman buruknya dipermainkan
oleh Hongaria. Ia menuntut agar pemain sayap-nya mampu melindungi bek
kiri dan kanan, agar peristiwa memalukan dulu tak terulang lagi.
Namun, Ramsey sendiri kesulitan untuk mencari seorang winger
yang mampu menjalankan peran seperti Zagallo di timnas Inggris. Maka
dalam enam pertandingan menjelang Piala Dunia 1966, Ramsey mencoba
beberapa orang pemain sayap –John Connelly, Terry Paine, Bobby Tambling,
dan Ian Callaghan- untuk mendapatkan seorang defensive winger.
Bahkan, dalam satu pertandingan persahabatan melawan Jerman Barat,
Ramsey sempat menggunakan pemain tengah, Alan Ball, dalam posisi pemain
sayap bertahan ini.
Berbagai uji coba yang ia lakukan membuahkan hasil. Dalam figur Alan
Ball, Ramsey mendapatkan pemain yang memiliki energi cukup untuk
beroperasi sebagai pemain sayap sekaligus pemain tengah –-sebagaimana
Zagallo untuk Brazil pada 1962. Satu-satunya gelar juara dunia Inggris
pun kemudian hadir melalui ide Ramsey yang mengutak-atik peranan sayap
tersebut. Ball, yang tak lelah-lelahnya berlari dan bertahan di sayap
kanan Inggris jadi figur krusial. Di babak perpanjangan waktu, umpan
silangnya lah yang dikonversi jadi gol oleh Geoff Hurst sehingga Inggris
unggul 3-2.
Sebagaimana formasi W-M Chapman diadopsi oleh mayoritas klub-klub
Inggris, hampir semua klub lalu meniru formasi dan gaya bermain Ramsey.
Inggris pun tiba pada era selanjutnya. Setelah sepakbola Inggris selama
lebih dari 40 tahun dihiasi oleh pemain sayap yang berlari di sisi kiri
dan kanan lapangan, tipe pemain ini kemudian menghilang.
Satu hal yang perlu diperhatikan dari Ramsey adalah ia lebih
menitikberatkan pada kerja keras, kerja tim, dan sistem dibandingkan
kemampuan individual, seni, atau kegembiraan melihat keindahan di
lapangan hijau. Apalagi mengisi lapangan tengah dengan pemain yang
memiliki banyak energi dan mampu bermain disiplin jauh lebih mudah,
terutama dibandingkan dengan menciptakan pemain yang kreatif dan bisa
beroperasi di ruang yang sempit.
Sebagai hasilnya, permainan di Inggris, yang dulunya memang sudah
menitikberatkan pada organisasi pertahanan, jadi lebih negatif dan
membosankan. Hilang sudah era di mana pemain sayap seperti Stanley
Matthews membuat penonton bergairah, menyaksikan duelnya dengan pemain
belakang.
Selain karena mengutamakan organisasi di lini tengah, alasan utama
dibalik menghilangnya pemain sayap di Inggris adalah penambahan jumlah
pemain belakang. Saat berhadapan dengan tiga bek dalam formasi W-M,
pemain sayap akan memiliki ruang berlari yang lebih luas. Sementara
dengan empat pemain belakang, bek kiri dan kanan akan lebih mudah
menjaga pemain sayap. Karena itu, para pemain sayap pun kehilangan ruang
untuk berakselerasi.
Pertarungan Filosofis – Siklus Sepakbola
Jika di era sebelumnya evolusi pemain sayap Inggris bermula dari
kekalahan di tangan orang lain, maka perubahan selanjutnya muncul karena
pertarungan internal. Yaitu dari pertarungan filosofis antara
petinggi-petinggi FA. Debat yang terjadi di akhir 1970-an ini
mempertanyakan pentingnya mempertahankan possesion dalam satu pertandingan.
Adalah Allen Wade yang berada di sisi sepak bola yang mengandalkan possesion.
Wade, yang pemikirannya sealiran dengan Alf Ramsey, mengutamakan sistem
dan organisasi dalam permainan. Ia mengembangkan sistem bertahan secara
zona dan berbicara mengenai pentingnya mempertahankan posisi. Dengan
filosofi Wade, tim bermain secara kaku dan dengan lini tengah dan lini
belakang membentuk garis sejajar yang tak pernah jauh satu sama lain.
Sementara itu Charles Hughes dan Charles Reep berdiri di sisi
satunya. Dengan mengandalkan analisis statistik pertandingan, baik
Hughes dan Reep menemukan bahwa gol-gol yang terjadi, baik di level
domestik maupun internasional, merupakan hasil dari 5 kali passing atau bahkan lebih sedikit. Baik Reep maupun Hughes lalu menekankan pentingnya umpan-umpan panjang untuk mencetak gol.
“Passing telah dianggap sebagai jimat bagi kebanyakan orang
dalam sepakbola modern. Terkadang mencetak gol dianggap sebagai
prioritas kedua dengan passing ke samping kanan-kiri sebagai tujuan
utama,” tulis Reep dalam bukunya “League Championship Winning Soccer and the Random Effect: The Anatomy of Soccer under the Microscope”.
Secara sederhana, bisa dikatakan Charles Hughes memenangi pertarungan
taktik ini. Ia diangkat menjadi direktur teknik FA (tragisnya
menggantikan Wade) lalu menuliskan buku panduan untuk klub-klub Inggris
yang berdasarkan filosofinya ini. Lalu bagaimana dengan pemikiran Wade?
Uniknya cara bermainnya malah berkembang di negara-negara Skandinavia
karena dipraktikkan oleh Bobby Houghton, Dave Sexton, Don Howe dan
pelatih Inggris saat ini, Roy Hodgson.
Karena “kemenangan” Hughes inilah tipe pemain sayap kembali ke
persepakbolaan Inggris. Setelah melewati masa-masa bermain negatif dan
membosankan ala Ramsey, permainan klub-klub Inggris pun kembali
mengandalkan umpan-umpan panjang. Kembali mengandalkan pemain sayap
untuk menerima umpan panjang tersebut, seperti di era Herbert Chapman.
Kembali mengandalkan kecepatan sebagai alat untuk menyerang. Kembali
pada era kick and rush.
Hughes pun menginstitusikan filosofinya ini di pusat pelatihan FA
(Center of Excellence) di Lilleshall. Sepak bola vertikal, atau ada yang
mengenalnya sebagai direct football, menjadi pilihan taktik
sepak bola Inggris, dengan penekanan pada umpan panjang diagonal dan
nilai-nilai kerja keras. Pemain sayap seperti David Beckham, Ryan Giggs,
Ashley Young, Adam Johnson, Jermaine Penant, atau Stewart Downing
kemudian lahir dari gaya bermain seperti ini.
Namun, setelah gaya bermain kick and rush ini mengakar
selama lebih dua puluh tahun, dalam beberapa tahun kebelakang muncul
ketidakpuasan dari berbagai pihak. Timnas Inggris tak pernah
menghasilkan prestasi berarti dan terlihat tertinggal dari negara-negara
Eropa daratan seperti Jerman atau Spanyol.

0 komentar:
Posting Komentar