Genealogi Winger 1
Di bulan Maret 1960, pernah suatu saat Helenio Herrera, salah satu pengusung gaya bermain catenaccio
yang kala itu menukangi Barcelona, bertemu dengan Stan Cullis, pelatih
Wolverhampton Wanderers. Dalam perjumpaan ini, Herrera secara gamblang
mengatakan pada Cullis bagaimana ketinggalan dan tidak inovatifnya
sepakbola Inggris dibandingkan negara Eropa daratan lainnya. Bahwa gaya
bermain mereka, yang menekankan pada kekuatan fisik namun tanpa metode
dan teknik, adalah gaya bermain yang digunakan negara lain
bertahun-tahun lalu.
“Orang-orang Inggris adalah mahluk yang lahir dari kebiasaan,” ujar
Herrera pada Cullis seolah mengejek ketidakmampuan mereka untuk berontak
dari konservatisme dan tradisi. Memang, Inggris sendiri dikenal sebagai
negara yang kolot dan sangat memegang nilai-nilai. The English Gentlemen.
Namun, dari kepatuhan pada pakem, metode, dan kebiasaan inilah lahir satu tipe pemain yang mewakili sepakbola Inggris: winger
atau pemain sayap. Pemain yang beroperasi di sisi lateral lapangan ini
identik dengan serangan cepat, yang memang sering diasosiasikan dengan
sepak bola kick and rush khas Inggris. Karena itu tak heran
jika di periode 1940-1960-an Inggris memiliki banyak sekali pemain sayap
apik, seperti halnya Stanley Matthews, Tom Finney, Billy Liddle, atau
legenda Manchester United, George Best. Ya, kultur pemain sayap, beserta
dengan striker tinggi besar pemegang nomor punggung 9, memang jadi
produk hasil era stagnansi taktik di Inggris.
Era Winger di Formasi W-M
Walau cenderung stagnan dalam periode waktu yang panjang, mengatakan
bahwa sepakbola Inggris tidak inovatif sesungguhnya tidak seluruhnya
benar. Pada 1925, Herbert Chapman dengan formasi W-M-nya di Arsenal
meredefinisi permainan sepak bola sebagai jawaban atas aturan offside
yang baru. Formasi inilah yang kemudian ditiru oleh sebagian besar klub
Inggris dan dianggap benar hingga tiga puluh tahun kedepan. Sebelumnya,
formasi 2-3-5 lah jadi platform utama untuk klub-klub di Inggris.
Namun, perubahan yang dibawa Chapman sebenarnya tidak berhenti pada
penempatan pemain saja. Tidak sekedar membuat pemain belakang yang
semula hanya dua orang menjadi tiga, atau sekedar menarik dua orang
pemain depan (inside forward) jadi bermain lebih dalam.
Melalui formasi W-M, Chapman juga merubah gaya bermain yang semula
berorientasi menyerang jadi lebih bertahan, terorganisir, dan
mengandalkan serangan balik untuk menyerang. Arsenal di bawah Chapman
bermain dengan mengundang lawan ke daerah pertahanan mereka sendiri,
meredam serangan, untuk kemudian meluncurkan serangan balik secara cepat
saat ada kesempatan.
Lalu, bersamaan dengan Arsenal yang meraih gelar demi gelar juara
dengan menggunakan formasi Chapman, klub-klub lain pun mulai mengadopsi
formasi W-M.
Namun, adopsi ini sendiri tidak berlangsung secara sempurna. Pasalnya, di Arsenal, Chapman memiliki inside forward
seperti Alex James yang mampu membangun serangan dan mengalirkan bola
secara baik. Pemain pintar seperti Alex inilah yang susah ditemui di
klub lain. Akhirnya kebanyakan klub hanya mampu meniru gaya bertahan
Arsenal saja dan membiarkan serangan balik dilakukan melalui bola-bola
panjang dari pemain bertahan ke depan.
Dari sinilah muncul tradisi sepakbola Inggris yang memanfaatkan sisi
lapangan sebagai serangan balik. Pemain sayap pun kemudian muncul
sebagai aktor utamanya. Mereka-mereka yang bermain di posisi ini
dituntut untuk memiliki kecepatan tinggi agar dapat mengejar bola umpan
panjang serangan balik, untuk kemudian mengirimkan umpan silang ke dalam
kotak pertahanan lawan, atau menusuk masuk dan mencetak gol. Namun,
pada intinya pemain sayap ini bertugas untuk mengeksploitasi ruang
lateral yang ditinggalkan lawan saat mereka asyik menyerang.
Karena itu, pada rentang waktu ini, tumpuan serangan klub-klub
Inggris hanya ditopang oleh tiga orang, yaitu dua orang pemain sayap dan
satu orang ujung tombak yang siap mengeksploitasi kesalahan pemain
belakang lawan. Sementara inside forward lebih berfungsi sebagai
penyambung antara lini belakang dan lini depan. Akibatnya pemain sayap
di era ini mendapatkan ruang untuk berlari, atau menggiring bola, yang
jauh lebih luas dibandingkan winger-winger di era sepakbola modern seperti sekarang.
Tak heran jika umpan silang jauh dari winger kanan ke winger
kiri, dan sebaliknya, jadi hal yang lumrah hadir dalam pertandingan di
Inggris. Salah satu klub yang paling sering menerapkan strategi ini
adalah Wolverhampton yang saat itu dilatih Stan Cullis. Kedua pemain
sayap mereka, Johnny Hancocks dan Jimmy Mullen acap kali membingungkan
pemain belakang lawan dengan mengirimkan umpan dari sisi ke sisi, untuk
meregangkan ruang antara pemain lawan. Akibatnya pemain depan Wolves
(Jesse Pye, Dennis Wilshaw, dan Roy Swinbourne) mampu memanfaatkan celah
tersebut untuk mencetak gol.
Formasi W-M ini juga menyebabkan munculnya duel-duel antara full-back
dan pemain sayap. Patut diingat bahwa pada masa-masa ini belum hadir
sistem pressing atau bertahan secara zonal dan masing-masing pemain
ditugaskan untuk menjaga satu pemain secara khusus. Pemain bernomor
punggung dua (bek kanan) akan selalu menjaga nomor punggung 11 (winger kiri), dan pemain nomor 3 selalu menjaga si nomor 7.
Duel-duel ini lah yang selalu ditunggu oleh para suporter sepakbola Inggris. Terutama fans Stanley Matthews, sang winger
legendaris Inggris. Mereka, penonton dan bek kiri yang bertugas menjaga
Matthews, tahu bahwa Matthews tidak pernah memotong ke dalam untuk
mencetak gol, dan selalu mengirimkan umpan ke kotak. Akan tetapi, ribuan
pasang mata di stadion tetap saja menunggu Matthews dengan elegannya
mempermainkan bek tersebut, melewatinya, lalu memberikan passing akurat
pada sang ujung tombak. Karena itu, di masa-masa ini setiap bek kiri
yang akan berhadapan dengan Matthews selalu disebut sebagai orang yang
paling kesepian di atas lapangan. Tradisi gaya bermain seperti inilah
yang berlangsung di Inggris semenjak 1925 hingga 1960-an.
Sebagaimana pisau yang diasah berulang kali akan menjadi tajam, maka
kesetiaan Inggris pada formasi W-M pun membuat mereka sangat ahli dalam
bermain memanfaatkan sayap lapangan. Hal ini juga dibuktikan oleh timnas
Inggris yang sempat tak terkalahkan selama dua tahun, dari Mei 1947 ke
1949, dan hingga 1953 belum pernah kalah di kandangnya sendiri. Bahkan
Inggris sempat menghancurkan Portugal 10-0 dan Italia 4-0 dengan Tom
Finney (sayap kiri) dan Stanley Matthews (sayap kanan) sebagai tumpuan
serangan.
Namun, ketergantungan akan permainan sayap ini pun akhirnya harus
tunduk pada evolusi taktik yang sudah sedemikian berkembangnya di luar
Inggris. Pada 25 November 1953, salah satu tim terbaik sepanjang masa,
Hongaria, menghancurkan Inggris 6-3 dan membuat para pemainnya seolah
mengejar bayangan di lapangan. Mata publik Inggris akhirnya terbuka akan
adanya formasi lain diluar W-M dan akan adanya gaya bermain lain diluar
mengandalkan serangan balik. Secara perlahan Inggris memulai perubahan
sepakbola mereka sendiri.



0 komentar:
Posting Komentar