Genealogi Winger 3: Defensive Winger
Jika dibandingkan Arjen Robben atau Marc
Overmars, sosok Dirk Kuyt atau Park Ji Sung terlihat lebih sederhana.
Keduanya tidak mencolok, tidak “wah”, tidak dilengkapi trik-trik unik
yang bisa mengelabui full-back di hadapannya, dan jarang memotong ke arah kotak penalti untuk mencetak gol
Padahal biasanya mereka-mereka yang ditempatkan di area sayap
seringkali diidentikkan dengan kecepatan dalam mengeksplorasi sisi
lapangan dan/atau kreativitas dalam berduel dengan para full-back.
Setelah pemain depan, tipe-tipe pemain sayap biasanya kerap membuat
penonton terkesima dan sering memaksa penonton tanpa sadar bergerak dari
tepian kursi untuk berdiri.
Tapi ini berbeda dengan Kuyt dan Ji Sung. Saat ditempatkan di sisi
lapangan, kedua pemain ini lebih sering berlari ke arah gawang timnya
sendiri dibandingkan meneror kiper tim lawan. Jika Robben menyihir
penonton dengan golnya dari tepian kotak penalti, Kuyt saat membela
Liverpool, dan Ji Sung sewaktu berbaju Manchester United, justru lebih
sering membuat penonton berteriak dengan larinya mengejar pemain depan
lawan kemudian merebut bola dengan tekel.
Walau bukan seorang pemain sayap murni, baik Rafa Benitez maupun Alex
Ferguson sering mempercayakan sisi sayap kiri atau kanan lapangan pada
kedua pesepakbola ini. Karena daya tahannya secara aktif dalam menahan
laju serangan lawan [defensive-ability], maka pemain-pemain yang mengambil peran seperti Kuyt dan Ji Sung ini sering disebut sebagai defensive winger.
Tapi keberadaan pemain sayap tipe bertahan sendiri bukan hal baru
dalam dunia sepakbola. Kemunculannya pertama kali dapat ditelusuri
hingga ke akhir 1950-an.
Penyeimbang Lini Bertahan dan Menyerang
Mario Zagallo, orang pertama yang pernah menjadi juara dunia dalam
kapasitas sebagai pemain dan pelatih, sering dianggap sebagai prototipe
pemain sayap bertahan pertama di dunia. Bersama Brasil ia dua kali
menjuarai Piala Dunia dengan menjadi defensive winger yaitu pada 1958 dan 1962.
Semula Zagallo berperan sebagai inside forward kiri di dalam formasi
dasar 4-2-4. Namun dengan melimpahnya pemain-pemain depan Brasil saat
itu, satu-satunya cara agar Zagallo mendapatkan tempat di timnas adalah
dengan menjadi pemain sayap kiri. Dengan Garrincha yang sangat hedonis
dan buas dalam menyerang di sisi kanan [lihat artikel mengenai Garrincha], maka Zagallo bermain di sisi kiri untuk cenderung ikut bertahan saat timnya diserang.
Di era 1950-an, atau menjelang berakhirnya era W-M, tugas inside forward
sudah berubah terlebih dahulu. Jika semula pemain di posisi ini hanya
bertugas untuk menyerang dan mengalirkan bola, maka perannya bertambah
dengan ikut membantu pertahanan saat timnya diserang. Karena itu, tak
heran Zagallo sudah memiliki kemampuan bertahan sebelum ia mengambil
peran pemain sayap.
Hal ini berbeda dengan Garrincha, sang winger kanan. Dengan
kemampuan dribel dan dalam melewati bek lawan, Garrincha dapat
dikategorikan sebagai pemain sayap tradisional yang tak memiliki tugas
bertahan sama sekali [lihat chalkboard di bawah ini untuk formasi Brasil di Piala Dunia 1958].
Dengan kedua pemain ituah Vicente Feola, pelatih Brasil kala itu,
membawa negara Amerika latin ini menjuarai Piala Dunia 1958. Garrincha
akan menyuplai Pele dan Vava untuk mencetak gol, sementara Zagallo
dengan kerja kerasnya (tak heran ia dijuluki “Si Semut”) dalam bertahan
akan membantu Didi dan Zito di lini tengah.
Kemunculan Zagallo ini pun sesungguhnya suatu reaksi dari perubahan
besar di dunia sepakbola, yaitu awal mula munculnya empat bek sejajar
dan awal mula 4-3-3.
Empat bek sejajar muncul karena salah satu center-half (di
formasi W-M) secara alamiah akan berposisi lebih dalam dan bertahan dari
satunya, sehingga terdapat empat orang di lini pertahanan [lihat chalkboard di
atas]. Sementara itu, tiga pemain di tengah (didapatkan dengan Zagallo
yang bermain lebih dalam) muncul karena adanya kebutuhan untuk mengisi
kekosongan lini tengah yang ditinggalkan center-half yang berperan sebagai bek.
Karena itu, tak heran jika tim Brasil di Piala Dunia 1958 terlihat
tidak seimbang atau tidak simetris. Penyerangan akan lebih berpusat di
sisi kanan lapangan (lewat Garrincha-Pele-Vava), sementara pemain sisi
kiri akan lebih meredam gairah untuk menyerang demi kepentingan
pertahanan. 4-3-3 yang tidak simetris.
Bagi Brasil sendiri, walau Zagallo bukan pemain paling terkenal yang
pernah dihasilkan negara ini, ia merepresentasikan satu bagian penting
dalam lini masa sejarah sepak bolanya: Brasil yang mencari keseimbangan
antara menyerang dan bertahan.
Sementara bagi dunia sepakbola, kemunculan Zagallo memicu pemain
sayap untuk belajar seni bertahan dalam sepakbola. Selain itu juga
memicu kehadiran pemain sayap yang lebih komplit, yang kemampuan
bertahan dan menyerangnya sama bagusnya. Kehadiran Zagallo bahkan
menginspirasi Alf Ramsey untuk menciptakan sistem “wingless wonder” saat Inggris menjuarai Piala Dunia 1966 (lihat tulisan “Genealogi Winger Bagian 2“).
Tak heran seorang mantan pelatih timnas Perancis, Aime Jacquet,
pernah berkata bahwa Mario Zagallo adalah orang yang mengajarkan dunia
untuk mengenakan dua kaus: menyerang dan bertahan. Makanya, tak perlu
diherankan jika saat Zagallo menjadi manajer pun dia tetap memasang
seorang pemain sayap yang punya kemampuan bertahan bagus dalam formasi
utamanya.
Saat menjuarai Piala Dunia 1970 dalam posisi sebagai manajer,
sekaligus melengkapi portofolio-nya sebagai orang pertama yang menjadi
juara dunia dalam status sebagai pemain dan manajer, Zagallo tak lupa
menempatkan seorang defensive-winger dalam susunan utama timnya.
Brasil 1970 sering disebut sebagai salah satu tim terhebat dalam
sejarah sepakbola karena keseimbangannya dalam bertahan dan menyerang.
Zagallo menempatkan Rivellino di sisi kiri penyerangan. Dengan Jairzinho
di kanan yang peran dan gaya mainnya seperti Garrincha di Piala Dunia
1958 dan 1962, maka Rivellino di kiri memanggul tugas sebagaimana
Zagallo dulu: menjadi false-winger, defensive-winger.
Ketika Zagallo menjadi asisten Carlos Alberto Perreira di Piala Dunia
1994, Brasil pun punya pemain sayap dengan tendensi bertahan yang kuat.
Brasil 1994 kerap dianggap sebagai tim yang un-aesthetic, Brasil yang tidak enak ditonton. Toh hasilnya maksimal: menjadikan Brasil sebagai tim pertama di dunia yang empat kali jadi juara dunia.
Saat itu, guna melapisi agresifitas dua full-back, Jorginho di kanan dan Branco/Leonardo di kiri, Brasil memasang Mazinho dan Zinho di kedua sayap [lihat chalkboard paling atas]. Kedua pemain ini, terutama Mazinho, ayah pemain Barcelona saat ini — Thiago Alcantara, juga punya defensive-ability yang
baik. Dengan Dunga dan Mauro Silva di jantung lini tengah, saat itu
Brasil punya empat pemain tengah yang memiki kemampuan bertahan yang
baik. Dan itulah sebabnya kenapa Brasil di Piala Dunia 1994 sering
dianggap Brasil pertama yang kelewat doyan bertahan ketimbang
menari-nari di daerah lawan.
Jawaban Atas Serangan Full-Back
Jika kemunculan Zagallo adalah jawaban Brasil untuk mengatasi
persoalan keseimbangan antara menyerang dan bertahan, maka pemain yang
ditempatkan tinggi di sayap untuk bertahan di era sekarang adalah
jawaban atas semakin menyerangnya full-back.
Contoh Dani Alves, Roberto Carlos, Cafu, Ashley Cole, Gianluca
Zambrotta, atau Fabio Grosso. Dengan kemampuan dribelnya pemain-pemain
ini memiliki peran sentral dalam menyerang dan stretching area permainan
agar tetap lebar dan tidak menumpuk di tengah. Hal ini dikarenakan full-back-lah yang kini jadi pemain dengan area cukup luas untuk dieksploitasi dengan kecepatannya.
Dulunya, peran ini diemban oleh winger. Namun, dengan
penggunaan 4 bek sejajar, para pemain sayap kehilangan ruang untuk
beroperasi sehingga tugas ini dialihkan pada pemain di belakangnya.
Karena itu, seorang winger, atau pemain depan yang bermain di sayap lapangan, sebagai orang yang pertama kali berhadapan dengan full-back, memiliki tugas untuk meredam serangan dari belakang ini.
Sebagai contoh, lihatlah Stephan El-Shaarawy saat AC Milan berhadapan
dengan Barcelona di laga 16 besar Liga Champions 2012/2013. Pemain muda
Italia ini oleh Max Allegri ditempatkan di sayap kiri untuk
meminimalisir peran Alves dan menahannya agar tidak naik. Demikian pula
dengan Park Ji Sung, atau Wayne Rooney, yang pernah ditempatkan untuk
menetralisir Maicon saat Manchester United bertemu dengan Inter Milan di
Liga Champions 2008/2009.
Fergie salah satu manajer di era kontemporer yang sangat doyan memainkan seorang defensive-winger.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, JiSung dan Rooney cukup sering
dan fasih memanggul peran ini. Terakhir bisa juga dilihat bagaimana Ryan
Giggs dimainkan Fergie di leg kedua Liga Champions musim ini
melawan Real Madrid. Fergie menempat Giggs di depan Rafael da Silva guna
menetralisir agresifitas full-back kiri Madrid, Fabio Coentrao.
Selain untuk menahan serangan full-back lawan, kehadiran seorang defensive winger sesungguhnya membantu permainan full-back tim sendiri. Dengan full-back lawan
yang tertahan di areanya sendiri, maka bek kiri-kanan tim pun akan
memiliki ruang luas yang dapat digunakan untun menyerang.
Dalam skema besar sepakbola, duel ini jadi hal yang unik dan seakan
berkebalikan dengan apa yang terjadi hampir 60 tahun lalu. Dulu,
duel-duel antara full-back dan pemain sayap memang jadi atraksi yang
menarik penonton, dengan bek terluar yang harus siap menerima gempuran
sang pemain sayap.
Kini, bak piramida sepak bola yang terbalik, posisi keduanya pun
tertukar. Sang pemain sayap yang kini harus bersiaga menahan serangan full-back.

0 komentar:
Posting Komentar