Sejarah Sepakbola Indonesia 5
Menyusul berdirinya klub Victoria dan Sparta di
Surabaya, klub-klub sepakbola lainnya pun segera bermunculan di
Surabaya. SIOD, Rapiditas, ECA dan THOR bermunculan tak lama setelah
pertandingan Victoria vs Sparta digelar pada Juli 1896.
Banyaknya klub sepakbola yang muncul di Surabaya ini memungkinkan
mereka membuat sebuah federasi sepakbola yang menaungi semua aktivitas
mereka. Pada Februari 1897, federasi sepakbola di Surabaya pun berdiri.
Organisasi ini menaungi keberadaan klub-klub yang baru muncul pada saat
itu. Tidak diketahui nama federasi yang ddiirikan pada 1897 itu. Barulah
pada 1902 muncul federasi baru yang dinamai OJVB (Oost Java Voetbal Bond/Federasi Sepakbola Jawa Timur).
Setelah dibentuknya OJVB inilah pertandingan-pertandingan antarklub
bisa lebih rutin digelar. Umumnya mereka menggelar pertandingan setiap
akhir pekan. Untuk merayakan terbentuknya OJVB inilah digelar kompetisi
kecil pada 1902, tak lama setelah pendirian OJVB itu. Final kompetisi
ini mempertemukan ECA melawan THOR [klub ECA ini notabene adalah pecahan
dari klub THOR]. THOR memenangkan pertandingan tersebut dengan skor
1-0.
Proses hampir mirip juga berlangsung di Batavia. Menjelang pergantian
abad 19 ke abad 20, di Batavia muncul klub Nimmer Vermoeid, Trappers
dan sebuah klub lain yang berbasis di Jatinegara [Meester Cornelis].
Memasuki abad 20, jumlah klub di Batavia juga bertambah dengan
kehadiran BVC [Batavia Voetbal Club pada 1903], Hercules, OLVEO [Onze
Leus is Voorwaarts En Overwinnen], dan VIOS [Voorwaarts Is Ons Streven],
klub dari Jatinegara.
Dua tahun setelah OJVB menggelar kompetisi, hal serupa terjadi di
Batavia 2 tahun kemudian. Hanya saja, karena di Batavia belum muncul
sebuah federasi, maka inisiatif menggelar kompetisi malah muncul dari
surat kabar Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie. Ide digelarnya turnamen ini datang dari sang pemimpin redaksi [hoofd-redactuer], Karel Wysbrand.
Turnamen yang memperebutkan hadiah medali emas dan perak. Empat klub
yang sudah disebutkan di atas [BVC, Hercules, OLVEO, VIOS] ikut dalam
turnamen ini. Satu tim tambahan yang ikut kompetisi adalah siswa-siswa
STOVIA [Sekolah Dokter Jawa]. VIOS keluar sebagai juara dengan catatan
meyakinkan: 6 kali menang dan hanya sekali menderita kekalahan (dari
OLVEO dengan skor tipis 2-3).
Ada beberapa catatan menarik dari turnamen di Batavia ini. Pertama,
keikutsertaan siswa-siswa STOVIA dalam turnamen ini menunjukkan dengan
jelas bagaimana kaum bumiputera sudah bermain bola di awal abad-20. Ini
lagi-lagi menegaskan peranan anak-anak sekolahan dalam perkembangan
sepakbola di Hindia Belanda [lihat artikel Sejarah Sepakbola Indnesia bagian 3]. Jika di lapangan pergerakan politik siswa-siswa STOVIA ini yang menginisiasi Boedi Oetomo, di lapangan bola pun mereka bisa dikatakan sebagai salah satu yang paling awal berkiprah.
Sayang, kiprah siswa-siswa STOVIA ini masih buruk. Sepanjang turnamen
mereka gagal meraih poin dengan agregat gol yang sangat timpang:
kemasukan 32 gol dan hanya bisa mencetak 1 gol saat melawan BVC.
Kedua, turnamen ini berlangsung bukannya tanpa cacat. Protes datang
dari BVC yang menuduh VIOS telah menggunakan bola yang lebih ringan dari
seharusnya. Saat itu VIOS berhasil mengalahkan BVS dengan skor telak
5-1 pada laga yang digelar di di Generaal Staal Laan, Jatinagera, pada
24 Juli 1904. Skor itu sempat dihapuskan sementara. Akan tetapi, di
akhir kompetisi, skor itu dinyatakan sah setelah merujuk aturan
pertandingan yang dibuat oleh federasi sepakbola Belanda yaitu KNVB [Koninklijke Nederlandsche Voetbal Bond].
Kedua, turnamen ini berlangsung cukup lama yaitu sekitar 2,5 bulan
[dimulai pada 17 Juli 1904 dan berakhir pada 29 September 1904]. Lamanya
waktu turnamen ini disebabkan karena menggunakan sistem kompetisi
penuh, di mana tiap klub bertemu dua kali secara home and away. Inilah
kiranya yang membuat Berretty, penulis buku 40 Jaar Voetbal in Nederlandsch-Indie 1894-1934, berkeyakinan kalau turnamen inilah yang bisa disebut sebagai kompetisi sepakbola pertama di Hindia Belanda.
Memang benar bahwa dalam waktu yang persis bersamaan, di Surabaya
juga sudah digelar kompetisi yang menggunakan sistem kompetisi penuh home and away.
Kompetisi di Surabaya juga diikuti oleh 5 klub. Dimulai pada 17 Juli
1914 [persis berbarengan dengan kompetisi di Batavia], kompetisi di
Surabaya ini tersendat-sendat sedemikian rupa sehingga baru selesai pada
5 Maret 1905. Lagi pula, 2 dari 5 klub yang terlibat sebenarnya berasal
dari klub yang sama. THOR dan ECA sebagai klub terkuat di Surabaya
masing-masing mengirim 2 tim sekaligus. Belum lagi jika mengingat fakta
kalau ECA sendiri adalah pecahan dari THOR.
Kendati demikian, turnamen di Surabaya ini punya kelebihannya
tersendiri. Kendati hanya diikuti oleh 3 klub [ECA dan THOR mengirim 2
tim], antusiasme masyarakat Surabaya memang sudah terlihat menonjol.
Pertandingan antara tim utama THOR dan ECA, 2 klub terkuat di Surabaya
saat itu, pada 30 Oktober 1904, dilaporkan dihadiri oleh sekitar 4 ribu
penonton.
Pada artikel Genealogi Sepakbola Indonesia bagian 4,
telah digambarkan antusiasme publik Surabaya terhadap sepakbola bahkan
sudah terlihat sejak 8 tahun sebelumnya, saat digelar pertandingan
sepakbola pertama antara Victoria melawan Sparta pada Juli 1986. Cukup
jelas tergambar bagaimana riwayat antusiasme Surabaya terhadap permainan
ini sehingga antusiasme Bonek di zaman sekarang mestinya tak perlu lagi diherankan.
Sejak itulah kompetisi-kompetisi di level kota [staden-wedstrijden]
bermunculan di beberapa kota besar. Di Semarang, juga di tahun yang
sama, sudah muncul kompetisi pertama dengan SVB [Semarangsche Voetbal
Bond] menjadi kampiunnya. Pada 1907, kompetisi pertama di Bandung pun
dimulai dengan SIDOLIG [Sport In De Open Lucht Is Gezond] keluar sebagai
juara.
Sumatera yang sebenarnya lebih dulu mengenal sepakbola ketimbang
Jawa, lebih belakangan menggelar kompetisi. Pertama kali kompetisi
digelar di Sumatera setelah didirikannya federasi sepakbola pertama di
wilayah itu, DVB [Delische Voetbal Bond], pada 16 Juli 1907. Lima hari
setelah DVB berdiri kompetisi digelar hanya dengan 3 klub. Menariknya, 3
klub yang terlibat sudah merepresentasikan apa yang kelak menjadi kutub
kekuatan sepakbola di Hindia Belanda: Voorwaarts (orang-orang Eropa),
Maimoen S.C. (orang-orang bumiputera] dan Chinese S.C [orang-orang
Tionghoa].
Kompetisi-kompetisi setingkat kota itu secara rutin digelar dan
umumnya dilakukan pada sekitar bulan Juni atau Juli [sekitar musim panas
dalam iklim Eropa]. Di luar itu, pertandingan-pertandingan persahabatan
di antara klub-klub sekota atau klub-klub antar kota juga cukup sering
digelar. Klub ECA dari Surabaya dan Go Ahead dari Malang pernah saling
berkunjung pada 1898. Setahun kemudian, klub SVV dari Semarang menjamu
kedatangan klub Vitesse dari Surabaya pada Mei 1899.
Pada 1904, klub UNI [Uitspanning na Inspanning] dari Bandung juga
bertanding dengan BVC [Bataviaasche Voetbal Club]. Selanjutnya, karena
di Bandung belum ada kompetisi setingkat kota, maka UNI pun sempat ikut
kompetisi di Batavia pada 1906. Saat itu UNI menduduki peringkat 5 dari 7
klub yang terlibat.
Kompetisi antarkota baru benar-benar terwujud pada 1914 saat
berlangsung perhelatan Koloniale Tentoonstelling [Pameran Kolonial] di
Semarang. Dalam ingatan warga Semarang, momen ini dikenal dengan “Pasar
Sentiling”, sebentuk salah-ucap “Tentoonstelling” dalam lidah
lokal. Sebagai upaya pemerintah kolonial untuk mengenalkan dirinya,
momen itu digunakan untuk memamerkan berbagai kemajuan yang sudah dibuat
oleh pemerintah, dari mulai teknologi sampai hasil bumi. Guna
meramaikan pameran, tiap malam digelar juga pasar malam di beberapa
tempat sekaligus. Digelar juga beberapa pertunjukan teater, musik sampai
olahraga. Kriket dan sepakbola lagi-lagi ikut ambil bagian.
Khusus sepakbola, di momen inilah untuk pertama kalinya digelar
kompetisi antarkota yang melibatkan kota-kota penting di Jawa yaitu
Batavia, Surabaya, Bandung dan Semarang. Mulanya, Singapura juga
mengirimkan tim yang bermaterikan tentara tapi rencana itu gagal karena
meletusnya Perang Dunia I. Batavia akhirnya muncul sebagai juara di
kompetisi ini.
Hadiah turnamen ini adalah piala yang diserahkan langsung oleh
Residen Semarang dan juga lencana-lencana untuk para pemain dari klub
yang jadi pemenangnya. Karena meningkatnya animo masyarakat untuk
menonton pertandingan sepakbola yang dimainkan oleh klub-klub terkemuka
yang saling bertemu, turnamen yang awalnya hanya untuk memeriahkan Koloniale Tentoonstelling
pun akhirnya menjadi turnamen rutin tahunan. Antusiasme ini tampak
jelas dari banyaknya telegram yang masuk yang menginginkan turnamen ini
diadakan secara rutin.
Sejak itulah kompetisi antarkota tak putus-putusnya digelar setiap
tahun dengan masing-masing kota bergiliran menjadi tuan rumah. Setelah
berdirinya NIVB [Nederlands Indisch Voetbal Bond], federasi sepakbola
Hindia Belanda, pada 1919, kompetisi ini pun pengelolaannya diambilalih
oleh NIVB. Untuk diketahui, NIVB yang didirikan oleh bond-bond dari
Surabaya, Batavia, Bandung dan Semarang resmi menjadi anggota FIFA pada
24 Mei 1924.
Selama 8 tahun, dari 1914 sampai 1921, kompetisi digelar dengan
sistem gugur. Empat klub yang bertanding bertemu langsung di babak
semifinal. Masing-masing klub yang menang melaju ke babak final untuk
menentukan sang juara. Barulah pada 1922 digelar dengan sistem setengah
kompetisi di mana 4 klub peserta saling bertemu satu sama lain. Tim
dengan poin terbanyak otomatis akan menjadi juara.
Memasuki tahun 1925, NIVB menerima banyak anggota baru. Banyak
kota-kota yang akhirnya membentuk [bond atau federasi lokal]. Pada 1925,
Cirebon, Tegal dan Pekalongan mendirikan NJVB [Noord-Java Voetbal Bond]
dan diterima oleh NIVB. Setahun berikutnya menyusul Malang, Pasuruan,
Solo, Yogyakarta, Sukabumi dan Magelang menjadi anggota NIVB. Pada 1929,
Blitar, Kediri dan Madiun mendirinya SCVD [Stadelijke Combinati Voetbal
Bond] dan ikut bergabung dengan NIVB.
Sejak keanggotaan NIVB bertambah di luar empat kota utama itu,
kompetisi antarkota pun statusnya resmi menjadi Steden
Kampioens-wedstrijden, setelah sebelumnya hanya berstatus Steden
wedstrijden. Maksudnya: tim-tim yang bertanding di kompetisi NIVB adalah
juara di wilayahnya masing-masing. Pada 1925, misalnya, Bandung harus
melewati laga kualifikasi melawan NJVB. Pada 1926, Surabaya juga harus
melalui laga kualifikasi melawan Malang lebih dulu.
Di luar kompetisi yang diselenggarakan oleh orang-orang Eropa di
Hindia Belanda yang kemudian diorganisir oleh NIVB ini, terdapat juga
kompetisi sepakbola lainnya. Sejak 1917, klub-klub sepakbola orang
Tionghoa juga sudah menggelar kompetisinya sendiri dengan bantuan dana
dari pengusaha-pengusaha Tionghoa yang peduli dengan sepakbola.
Kompetisi di kalangan orang Tionghoa ini semakin terorganisir menyusul
didirikannya federasi sepakbola khusus untuk orang Tionghoa, CKTH [Comite Kampioenswedstrijden Tiong Hoa], pada 1927.
Popularitas sepakbola semakin tak tertahankan setelah bond-bond
sepakbola bumiputera yang merasa kesulitan memasuki kompetisi yang sudah
ada, memutuskan mendirikan federasi sendiri pada 19 April 1930 dengan
nama PSSI [Persatoean Sepakraga Seloeoroeh Indonesia].
Selain menggelar kompetisi antarkota, bond-bond sepakbola bumiputera
itu juga mulai menggelar kompetisi tingkat kota di daerahnya
masing-masing.
Masing-masing federasi menggelar kompetisinya sendiri. Dan umumnya
polanya mengikuti pola kompetisi yang digelar oleh NIVB. Di tingkat
tertinggi adalah Steden Kampioens-wedstrijden. Untuk bisa mengikuti Kampioens-wedstrijden, suatu tim harus lebih dulu memenangkan steden-wedstrijden. Nah, di level kompetisi kota sendiri terdapat jenjang kompetisi, terbagi ke dalam dua jenjang yaitu Eerste Klaas [Kelas/Divisi Satu] dan Tweede Klaas [Kelas/Divisi Dua].
Dan, serunya lagi, semua itu digelar oleh tiga federasi sekaligus. Dualisme federasi dan dualisme liga? Aih, jangan keliru. Sejak 1930 di negeri ini malah pernah ada tiga federasi dan tiga liga.a
0 komentar:
Posting Komentar