Sejarah Sepakbola Indonesia 3
Periode di antara berdirinya Gymnastiek Vereeniging pada 1887 dan Sportclub ‘Sumatra’s Oostkust pada 1899, sempat berdiri Bataaviasche Cricket-En Football Club Rood-Wit. Perkumpulan ini didirikan oleh JD de Reimer pada 28 September 1893. Anggotanya mencapai sekitar 30an orang. Menilik namanya, Rood-Wit, kemungkinan perkumpulan ini mengenakan kostum berwarna merah dan putih.
Seperti tercantum pada namanya, Rood-Wit bukan hanya bermain bola,
tapi juga bermain kriket. Berbeda dengan lahirnya sepakbola modern di
Inggris di mana sepakbola rapat hubungannya dengan rugby, penyebaran
sepakbola di luar Inggris lebih sering beririsan dengan olahraga kriket.
Jejak dari fenomena itu masih bisa kita temukan dari beberapa nama klub
sepakbola, ambil salah satu contohnya Genoa CFC. Singkatan “CFC” di
situ berarti “Cricket and Football Club”.
Begitu juga yang terjadi di Asia, misalnya saja di India dan Hindia
Belanda. Di dua wilayah itu, sepakbola juga disebarkan bersama dengan
kriket. Khusus India, lagi-lagi dengan merujuk studi yang dilakukan Paul
Dimeo, kriket muncul bersama dengan sepakbola, dan bukan rugby, lebih
karena orang-orang Inggris merasa betapa rugby yang keras tak cocok
dengan kebudayaan India yang akrab dengan ajaran ahimsa [doktrin
anti-kekerasan].
Perkumpulan Rood-Wit sempat dilaporkan pada pemerintah
melalui Departemen Hukum [Departement van Justitite] dan setahun
kemudian tercatat dalam arsip Sekretariat Negara [Algemeene Secretarie]
bertanggal 25 April 1894. Hanya saja, perkumpulan ini tampaknya tidak
terlalu lama berkiprah. Minim sekali catatan mengenai perkumpulan Rood-Wit ini.
Sepakbola akhirnya menemukan momentum penyebarannya dengan diawali oleh seorang anak sekolah HBS [Hollandsche Burgere School]
Surabaya bernama John Edgar. 1894 menjadi tahun yang bersejarah bagi
sepakbola Hindia Belanda. Di tahun itu, Edgar mendirikan sebuah kub
sepakbola bernama “Victoria”, benar-benar klub sepakbola dan tak ada
kaitannya dengan kriket. Edgar mendirikan Victoria pada 1 September 1894
bersama rekan-rekannya yang sama-sama bersekolah di Surabaya. Edgar
sendiri yang menjadi kapten tim Victoria.
Diuraikan pada bab I sebuah buku kini yang cukup susah ditemukan, 40 Jaar Voetbal in Nedelandsch- Indie
1894-1934 [40 Tahun Sepakbola di Hindia Belanda] yang disusun W.
Berretty, Edgar pertama kali mengenal sepakbola pada saat ia mengecap
pendidikan di Singapura, sebelum akhirnya melanjutkan pendidikannya di
Surabaya. Bola sepak yang pertama kali digunakan Edgar dan
kawan-kawannya pun dipesan langsung dari Singapura.
Sepakbola ala Anak-anak Sekolah
Sesaat setelah pendirian klub sepakbola pertama ini, para siswa-siswa
HBS segera melanjutkannya dengan berlatih secara rutin. Setiap minggu
pagi mereka berlatih di Missigit-plein. Pada saat itu, animo untuk
bermain sepakbola terbilang tidak begitu besar, karena tidak adanya
penyemangat selain dari John Edgar sendiri. Kurangnya animo ini antara
lain bisa dicontohkan dengan tidak adanya klub lain yang dapat dijadikan
“lawan” bertanding. Sepakbola dimainkan satu sama lain secara terpisah,
jadi tidak ada 22 orang dalam satu pertandingan sepakbola pada masa
itu.
Perlu diketahui juga, memasuki abad 20, sekolah-sekolah itu juga
mulai bisa diakses oleh anak- anak kaum bumiputera, bukan hanya
anak-anak Eropa saja. Dari sinilah nantinya persentuhan kaum bumiputera
dengan sepakbola terjadi dengan lebih intensif.
Kelak, hampir 30 tahun setelah Edgar mendirikan Victoria, tokoh
penting pergerakan nasional yang nantinya menjadi Perdana Menteri
pertama Indonesia, Soetan Sjahrir, juga sangat aktif bermain bola
bersama rekan-rekannya di AMS [setara dengan SMA] di Bandung.
Selain main bola bersama klub lokal dari daerah Pungkur, dia lebih sering main bola bersama klub LUNO [Laat U Niet Overwinnen].
Dikisahkan oleh penulis biografinya yang paling otoritatif, Rudolf
Mrazek, Sjahrir dan kawan-kawannya itu bahkan membuat semacam toko
koperasi yang menjual barang kerajinan dan merchandise yang hasilnya
digunakan untuk membiayai perpustakaan, teater dan tentu saja klub
sepakbola mereka.
Ini juga paralel dengan apa yang terjadi di tanah asal sepakbola modern, Inggris. Buku 100 Years of Football: The FIFA Centennial Book,
yang diterbitkan langsung dan resmi oleh FIFA, mendedikasikan salah
satu bagiannya untuk mengabadikan peranan sekolah dan murid-muridnya
dalam pertumbuhan sepakbola modern. Dalam sub-bab berjudul “Schoolboy Football” [hal. 25], FIFA mengakui peranan mereka ini.
“Sepakbola tertanam kuat dalam kultur kelas pekerja dan itu
ditampilkan dalam tempat yang penting di sekolah. Banyak guru
memainkannya di sekolah dan perguruan tinggi dan sepakbola jadi cara
sederhana, menyenangkan dan tidak merugikan bagi aktivitas fisik
murid-murid yang merupakan anak dari orang tua kelas pekerja. …Sampai
akhirnya, pada 1906, Departemen Pendidikan Inggris menyetujui untuk
secara formal memasukan sepakbola dalam kurikulum sekolah dasar negeri.” [hal. 25]
Aspek “menyenangkan dan tidak merugikan bagi aktivitas murid-murid”
itu pula yang diakui oleh John Edgar, dkk., di klub Victoria itu. Pada
sebuah foto dari tahun 1894 yang berhasil kami dapatkan, yang
mengabadikan John Edgar dan rekan-rekannya di klub Victoria sedang
mengenakan seragam dan sepatu bola, terdapat caption dengan beberapa
pucuk kalimat yang menggambarkan betapa kesenangan adalah unsur penting
kenapa mereka menyenangi sepakbola.
Di situ disebutkan betapa mereka seringkali mendapatkan undangan
pertandingan resmi, tapi itu tak akan membuat mereka lupa betapa dasar
olahraga yang mereka hayati adalah kesenangan. Kalimat penutup caption itu berbunyi: olahraga untuk kesenengan dan kesenangan untuk olahraga.
Sepakbola dalam Politik Pendidikan
Apa yang dilakukan oleh Edgar dan rekan-rekannya di sekolah HBS atau
Sjahrir di AMS, menjadi cerminan betapa pentingnya peranan pendidikan
dalam penyebaran olahraga modern di Indonesia.
RN Bayu Aji, yang menulis buku Tionghoa Surabaya dalam Sepakbola
[2010, hal. 54], menjelaskan fenomena itu dalam konteks politik etis
pemerintah kolonial yang menitikberatkan pada aspek pendidikan.
Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda mulai tingkat menengah dan
tinggi seperti MULO, HBS, AMS telah mengajarkan olahraga seperti
atletik, sepakbola dan bola keranjang.
Tetapi perlu juga dicatat, politik etis dalam bidang pendidikan itu
dirancang sedemikian rupa bukan hanya untuk memajukan kaum bumiputera
tapi juga memastikan kemajuan itu berguna bagi kepentingan kolonial.
Jika diringkas, formulanya begini: “Kamu boleh maju, tapi jangan
melewati batas.”
Maka selain memberikan kecakapan membaca, menulis, berhitung dan
bahasa asing, pendidikan di masa kolonial juga dengan canggih memasukkan
nilai-nilai yang bisa melanggengkan sistem kolonial. Bagaimana
pendidikan, politik kolonial, olahraga dan sepakbola saling beririsan di
Hindia Belanda
sempat digambarkan Pramoedya Ananta Toer dalam magnum opus-nya, Bumi Manusia.
sempat digambarkan Pramoedya Ananta Toer dalam magnum opus-nya, Bumi Manusia.
Pada bagian awal karya besarnya itu, Pram menggambarkan bagaimana
anak-anak HBS Surabaya, tempat sang tokoh utama Minke bersekolah,
berpesta dan bermain dalam perayaan penobatan Wilhelmina menjadi Ratu
Belanda. Digambarkan oleh Pram, pada 7 September 1898 [di Belanda masih 6
September], anak-anak HBS berpesta dengan memainkan berbagai permainan,
terutama sepakbola. Peringatan peristiwa ini selalu direproduksi oleh
pemerintah kolonial sebagai bagian dari upaya menginternalisasi sejarah
mereka ke dalam ingatan rakyat terjajah.
Kendati Bumi Manusia adalah karya sastra, tapi Pram dengan
plastisnya menampilkan Minke –sang bumiputera yang menjadi protagonis
novel—sebagai anak sekolahan yang nyaris selalu menghindar tiap kali
diajak berbicara dan bermain sepakbola. Dia cenderung minder dalam
urusan fisikal, apalagi jika sudah berurusan dengan duet “rasis” Robert
Suurhoff dan Robert Mellema. Duo Robert itu digambarkan Pram sangat
menyukai sepakbola. Mereka bukan hanya senang bermain, tapi amat
bersemangat membicarakan sepakbola. Dalam sebuah adegan, Minke diajak
oleh si cantik nan ringkih Annelies [adik Robert Mellema] untuk
menghindari sepakbola. Keduanya saling jatuh cinta dan sama-sama tak
menyukai sepakbola.
“Keminderan” Minke untuk bermain/membicarakan sepakbola bisa dibaca
sebagai isyarat Pram perihal upaya orang-orang Eropa menegakkan
supremasinya sampai ke area fisikal. Dan sepakbola, terutama di awal
pertumbuhannya di Hindia Belanda, memang jadi ajang paling meyakinkan
guna mempertontonkan supremasi kulit putih itu. Bukan kebetulan juga
jika latar waktu novel Bumi Manusia memang sekitar akhir abad-19 dan
awal abad-20 – suatu periode yang sejauh saya tahu belum mencatatkan
keberadaan kaum bumiputera sebagai pemain bola yang aktif. Masih sebatas
menjadi penonton yang terkagum-kagum.
Kelak di tahun 1932, seorang pengurus NIVB [federasi sepakbola untuk
orang Eropa] dengan terus terang mencoba melanggengkan supremasi fisikal
itu dengan melarang wartawan yang kulitnya berwarna [Tionghoa, Jawa
atau Melayu] untuk meliput kompetisi NIVB yang diselenggarakan di
Surabaya pada Mei 1932. Larangan itu menimbulkan perlawanan, terutama
dari pers Tionghoa, dan menimbulkan “kerusuhan” yang sampai membuat MH
Thamrin di Volksraad ikut turun tangan.
Di sini kita bisa kembali kepada Soetan Sjahrir, orang dengan postur
kecil dan itulah sebabnya masyhur dengan sebutan “Bung Kecil”. Supremasi
kulit putih sampai ke urusan fisik itu tak berhasil membuatnya “minder”
sebagaimana terjadi pada Minke. Hampir semua kesaksian tentang
bagaimana Sjahrir main bola selalu menggambarkannya sebagai pesepakbola
yang gesit, lincah, cerdik dan tak kenal rasa takut –bahkan walau
lawan-lawannya adalah orang-orang Eropa dengan fisik yang jauh lebih
kekar.
Tak heran jika Sjahrir juga dikenal sebagai pribadi tanpa rasa takut.
Jika sergapan bek-bek kekar Belanda saja ia tak takut, kenapa harus
takut beradu otak dalam perdebatan dan diskusi-diskusi politik dengan
pemerintah kolonial?
Inilah yang menjadi latar belakang kenapa pada 1937, 1 dekade setelah
Sjahrir menyelesaikan AMS-nya, Soeratin membacakan pidato berjudul “Loekisan Djiwa PSSI: Mendidik Ra’jat dengan Perantaraan Voetbalsport“. Salah satu kalimat Soeratin yang paling termasyhur –seperti diceritakan Maladi–berbunyi: “Kalau di lapangan sepakbola kita bisa mengalahkan Belanda, kelak di lapangan politik pun kita bisa mengalahkan Belanda.”
0 komentar:
Posting Komentar