Sejarah Sepakbola Indonesia 6
Butuh waktu cukup lama sampai akhirnya di
Hindia Belanda muncul kompetisi sepakbola yang mempertemukan beberapa
kota di Hindia Belanda. Sebelumnya, kompetisi-kompetisi yang sudah
dilakukan hanya di tingkat masing-masing kota saja.
Barulah pada 1914 ada kompetisi yang mempertemukan tim dari Batavia,
Surabaya, Semarang dan Bandung dalam sebuah kompetisi. Dan itu terjadi
pada sebuah Pasar Sentiling — salah pelafalan dalam lidah lokal untuk
istilah Belanda “Koloniale Tentoonstelling”.
Ide digelarnya Koloniale Tentoonstelling [Pameran Kolonial]
sudah muncul 2 tahun sebelumnya. Pilihan untuk menggelar acara tersebut
di Semarang lebih condong disebabkan karena Jawa Tengah adalah penghasil
utama perkebunan yang menjadi komoditas utama pemerintah kolonial.
Bukan kebetulan jika barang-barang yang dipamerkan yang terutama adalah
hasil-hasil perkebunan dan produk-produk olahannya, kerajinan,
hasil-hasil industri terbaru, sampai kreasi teknologi terbaru [dari
fotografi sampai kendaraan bermoror] yang hendak diperkenalkan pada
publik Hindia Belanda.
Ide acara ini sebenarnya juga untuk memperingati perayaan satu abad
terbebasnya Belanda dari pendudukan Prancis yang jatuh tepat pada 1913.
Karena dianggap terlalu mepet dalam persiapan, makanya acara ini pun
diundur sampai 13 Agustus 1914 dan berakhir pada 15 November 1914.
Salah satu yang menarik dari Koloniale Tentoonstelling ini
adalah digunakannya olahraga sebagai cara untuk menarik massa. Salah
satu kunci keberhasilan acara ini karena panitia pelaksana acara juga
mengadakan pasar malam yang bukan hanya ramai dengan para pedagang, tapi
oleh banyak atraksi dan pertunjukan, dari pentas musik sampai atraksi
motor. Selama 4 bulan lamanya — dari 13 Agustus sampai 15 November 1914
–, publik di tanah jajahan ini dibuat terpukau oleh acara ini. Dan
sepakbola adalah salah satu yang berhasil menarik minat itu.
Guna memperbesar antusiasme publik di Semarang untuk menonton
pertandingan sepakbola di acara Koloniale Tentoonstelling, maka
diundanglah empat kota besar yang sudah sejak lama dikenal memiliki
klub-klub yang bertanding dalam kompetisi yang rutin yaitu Batavia,
Bandung, Surabaya dan Semarang. Kebetulan baru kali inilah 4 kota yang
dianggap mewakili kekuatan penting sepakbola saat itu akan saling
bertemu dalam ajang yang sama. Maka nilai pertandingan di acara
Koloniale Tentoonstelling pun jadi lebih terdongkrak lagi.
Tak cukup dengan itu, panitia bahkan sudah bekerja sama dengan
kesebelasan militer dari Singapura untuk berpartisipasi di acara ini.
Partisipasi kesebelasan militer Singapura ini bahkan sudah diberitakan
jauh-jauh hari. (Saya berhasil menemukan potongan berita di koran Bataviache Nieuwsblad edisi 23 April 1914 yang sudah merilis jadwal pertandingan kesebelasan dari Singapura itu.)
Sayangnya, rencana tinggal rencana. Kesebelasan militer dari
Singapura batal datang ke Semarang karena alasan yang tak mungkin
ditolak: Perang Dunia I meletus dan tentara Inggris yang menduduki
Singapura tentu lebih memprioritaskan isu itu daripada sekadar pameran
dan/atau pertandingan yang mungkin mereka anggap sekadar tak lebih dari
eksibisi.
Tapi pertandingan sepakbola antarkota itu tetap digelar kendati
Singapura tak jadi ikut. Kompetisi digelar dengan sistem gugur. Di
pertandingan pertama (29 Agustus), kiper tangguh yang pernah memperkuat
tim nasional Belanda sebanyak 19 kali, berhasil mempecundangi Belanda
dengan skor telak 5-0. Di pertandingan kedua (30 Agustus), Semarang di
luar dugaan berhasil mengalahkan Surabaya dengan skor meyakinkan 3-1.
Pertandingan final yang mempertemukan Semarang melawan Batavia
digelar pada 31 Agustus. Artinya, Semarang tak mencicipi istirahat
barang sehari pun. Tak mengherankan jika Semarang gagal meraih gelar
juara kendati mereka bertanding di hadapan publiknya sendiri. Semarang
kalah telak 0-3 melalui gol yang dicetak oleh Davies, Jolly, dan
Fischer. Tiga pemain Batavia itu berasal dari klub di Batavia yang
paling terkemuka. Davies berasal dari klub Hercules, Jolly dari klub
Olveo dan Fischer dari klub VIOS.
Perlu dicatat, salah satu yang menarik perhatian para penggila bola
saat itu adalah kehadiran tiga pemain yang pernah memperkuat tim
nasional Belanda sebelum ketiganya akhirnya memutuskan pergi ke Hindia
Belanda. Mereka adalah Reinier Beeuwkes [kiper Batavia yang memiliki 19 caps bersama timnas Belanda], Ben Stom [kapten Batavia, 9 caps] dan Guus Luutjens [pemain Semarang, 14 caps].
Yang menarik lagi, Ben Stom hanya bermain di partai final dan absen
di laga pembukaan saat menghadapi Bandung. Hal itu disebabkan karena
sebagai seorang letnan dalam tentara Belanda, dia tak boleh bermain jika
ada tentara dengan pangkat lebih rendah bermain untuk tim lawannya. Itu
aturan yang sudah berlaku sejak tahun 1909/1910, khususnya di Batavia.
Pertandingan yang melibatkan empat kota ini berlangsung sukses dan
terbukti menjadi cikal bakal dari kompetisi berlevel nasional.
Sebelumnya kompetisi hanya berlangsung di tingkat kota [staden-wedstrijden].
Acara Koloniale Tentoonstelling juga menangguk sukses besar. Surat
kabar memberitakannya tanpa henti, dan banyak buku diterbitkan untuk
mengabadikan acara ini.
Kendati demikian, kritik bukannya tak datang terhadap acara ini. Tak
tanggung-tanggung, acara ini memancing Ki Hajar Dewantara [saat itu
masih menggunakan nama Soewardi Soerjaningrat] menulis pemflet kritik
yang sangat tajam. Artikel panjang berjudul “Als Iks Nederlander Was
[Andai Saya Orang Belanda]” ini menimbulkan kehebohan panjang dalam
dunia politik di Hindia Belanda karena mempersoalkan niatan utama
Koloniale Tentoonstelling.
Seperti sudah diuraikan di atas, acara ini memang untuk merayakan
pembebasan Belanda dari penjajahan Prancis. Dengan bahasa yang cerdas
dan lugas, Ki Hajar menggugatnya dengan pertanyaan: bagaimana
mungkin perayaan bebasnya Belanda dari penjajahan Prancis harus
dirayakan juga oleh bangsa kami yang justru sedang dijajah Belanda?
Lebih jauh lagi, jurnalis dengan ketajaman kata-kata yang legendaris, Mas Marco Kartodikromo, juga merilis artikel berjudul “Koloniale Tentoonstelling Boekan Boetoehnja Orang Djawa” di surat kabar Doenia Bergerak
edisi 1 no. 20 tahun 1915. Dia mengkritik, semua yang dipamerkan itu
tak ada relevansinya dengan kebutuhan riil orang bumiputera. Pameran
mobil, misalnya, bagi Mas Marco itu artinya pembangunan dan perbaikan
jalan. Dan itu berarti rakyat bangsa terjajah yang harus bekerja karena
tugas perbaikan jalan itu dibebankan pada rakyat jelata melalui
kewajiban yang saat itu disebut “gugur gunung”.
Penderitaan rakyat terjajah seperti inilah yang selalu ditutupi dalam
acara-acara Pameran Kolonial ini. Dan mereka sadar benar memang itulah
niat utamanya menggelar acara seperti ini. Iklan acara Koloniale
Tentoonstelling di surat kabar bergengsi Inggris, The Independent [edisi 13 Juli 1914 hal. 49], dengan tanpa malu menyebut acara di Semarang itu memang diperuntukkan agar bisa memberi “…
a comprehensive picture of the Dutch Indies in their present prosperous
condition obtained since the restoration of dutch rule in 1814.”
Acara seperti ini memang baru pertama kali digelar di Hindia Belanda,
tapi sudah berkali-kali digelar di dunia internasional. Pertama kali
ajang ini digelar pada 1851 di London dan terakhir pada 1948. Acara ini
digelar oleh negara-negara penjajah yang memamerkan obyek-obyek dari
negeri jajahannya. Acara seperti ini sering dikritik oleh kaum progresif
sebagai “penghinaan terhadap umat manusia”. Tidak jarang, negara
penjajah yang ikut berpartisipasi sampai memajang manusia pribumi
seperti sedang memamerkan binatang dalam acara-acara pasar malam.
Inilah kiranya yang menyebabkan perlawanan terhadap Koloniale
Tentoonstelling [Pameran Kolonial] mulai bermunculan memasuki abad 20.
Dalam acara Pameran Kolonial yang terbesar di Paris pada 1931, digelar
di lahan seluas 110 hektar, perlawanan terhadap acara seperti ini sudah
tak tertahankan lagi. Di saat yang bersamaan dengan digelar Pameran
Kolonial itu, digelar juga Pameran Anti-Kolonial bertajuk “Truth on the Colonies”.
Ada koinsidensi yang terlalu sayang untuk dilewatkan dari Pameran
Kolonial 1931 di Paris ini. Ternyata di Paris pun “mengikuti” apa yang
dilakukan panitia Koloniale Tentoonstelling di Semarang. Mereka juga
memanfaatkan pertandingan sepakbola untuk meramaikan acaranya itu. (Saya
menemukan secarik berita di Algemene Handelsblad edisi 8 Maret 1931 yang melaporkan pertandingan antara First Vienna melawan Antwerp FC.)
Perlawanan yang dilakukan Ki Hajar dengan menulis pamflet menggelegar berjudul Als Iks Nederlander Was
menegaskan suara kaum progresif yang sudah mulai marah dengan
kolonialisme yang makin tak punya malu dalam memamerkan
kejahiliyahannya. Ki Hajar akhirnya dibuang ke luar negeri dari 1913
sampai 1918 gara-gara keterusterangannya itu.
Ki Hajar sesungguhnya adalah seorang penggemar sepakbola. Dia banyak
menyokong kegiatan sepakbola terutama yang dilakukan oleh kaum
bumiputera, dalam hal ini PSIM — sebagaimana Otto Iskandar Dinata dengan
Persib dan MH Thamrin dengan VIJ. Karenanya mungkin saja Ki Hajar akan
menonton pertandingan sepakbola di acara Koloniale Tentoonstelling jika
tak keburu dibuang ke luar negeri.
Tapi barangkali Ki Hajar tak sekadar menonton. Saya bayangkan Ki
Hajar akan menonton pertandingan itu sembari membentangkan spanduk: “Against Colonial Football”
— sebagaimana para suporter St. Pauli atau FC United of Manchester
datang ke stadion sembari membentangkan spanduk: “Against Modern
Football”.
Dan memang semangat “Against Colonial Football” itulah yang jadi
penggerak utama berdirinya PSSI pada 1930, 16 tahun setelah Koloniale
Tentoonstelling — Pameran Para Penjajah.
0 komentar:
Posting Komentar